Friday 25 December 2015

Refleksi 2015, Rubik, 3R, dan Menuju 2016

Apakah semangat gotong-royong masih ada dalam masyarakat kita? Ok, mungkin masih ada meski banyak yang bilang sepertinya sudah mulai luntur. Tapi dalam dunia bisnis?


Industri  telekomunikasi di Tanah Air membuktikan bahwa semangat – yang rasanya musykil dalam dunia bisnis yang saling berkompetisi itu — masih ada. Proses refarming frekuensi 1800MHz adalah contoh yang paling hangat. Tadinya proyek ini seperti merupakan proyek yang suram, bikin semua “mager” alias malas bergerak. Kenapa?

Penggelarannya sungguh penuh dengan kompleksitas. Bayangkan:

1. Ada 4 operator seluler yang terlibat;
2. Frekuensi masih digunakan untuk layanan 2G dengan trafik yang sangat tinggi;
3. Ada sekitar 250 ribu BTS yang harus disetting ulang;
4. Kualitas layanan terancam mengalami gangguan dan akan memicu keluhan pelanggan.

Rubik

Realokasi spektrum itu membutuhkan kerjasama semua operator secara kompak. Prosesnya mirip seperti kita memainkan rubik. Jika ingin menggeser satu kotak warna ke suatu tempat tertentu warna maka harus ada kotak-kotak warna lain yang terpaksa minggir dulu untuk memberi jalan. Setelah satu kotak warna menempati tempat yang kita inginkan, baru kita mulai lagi dengan menempatkan kotak warna lain ke tempatnya, yang berkonsekuensi sama, yaitu menggeser kotak-kotak warna lainnya.

Alhamdulillah berkat fasilitasi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, semua operator rela meminggirkan kotak warnanya masing-masing, memberi jalan bagi kotak warna lain untuk menempati tempatnya. Dengan arahan Menkominfo, pekerjaan yang sudah dimulai sejak 2013 namun terbengkalai ini dapat dituntaskan hanya dalam waktu 6 bulan, yaitu mulai Mei sampai dengan November 2015.

Semua dilakukan dengan tujuan persis seperti menyatukan warna-warna yang sama dalam mainan rubik, yaitu agar spektrum frekuensi yang dimiliki masing-masing akan bersisihan dan tak berserakan yang menyebabkan inefisiensi.

Di belahan dunia yang lain, cerita semanis penyusunan rubik “refarming” ini tak terjadi semulus di negeri ini. Umumnya mereka terbentur pada kegagalan mencapai kata sepakat soal “kotak warna yang mana yang harus mundur lebih dulu untuk memberi tempat pada kotak warna lain bergeser menuju tempatnya”. Nggak ada yang mau ngalah. Umumnya, akhirnya mereka menyerah dan lebih memilih untuk mengakalinya dengan penerapan teknologi advance untuk spektrum yang tak bisa dioptimalkan melalui realokasi tersebut.

Jika dulu XL menempati spektrum 1710MHz -1717,5MHz dan 1730MHz -1745MHz, maka keduanya kini didekatkan menjadi 1710MHz -1732,5MHz. Jika setahun yang lalu (Desember 2014) XL sudah meluncurkan 4G LTE di Medan, Yogyakarta, dan Bogor pada frekuensi 1900MHz, kini 4G LTE sudah digelar secara nasional dan optimal pada frekuensi 1800MHz.

Ekosistem Digital

Karena 4G bukan untuk gagah-gagahan (silakan simak artikel saya “4G Bukan Gagah-gagahan” sebelumnya) maka pemberesan infrastruktur 4G LTE itu juga bukan pekerjaan final. Justru pekerjaan yang besar sedang dimulai setelah “panggung” disiapkan.

Pekerjaan besar itu terutama adalah menyiapkan ekosistem digital. Siapa yang akan “menari” di atas panggung 4G jika tak ada penari, tak ada yang mengiringi, dan tak ada yang mengurus koreografi?

Belum lama ini XL meluncurkan DigiBiz yang merupakan platform yang bersifat solusi digital guna mendukung para pelaku usaha UKM untuk memulai dan mengembangkan bisnis. Dengan solusi ini XL ingin berperan aktif mendorong kalangan UKM untuk bisa lebih memanfaatkan teknologi dalam meningkatkan produktivitasnya secara mudah karena cukup dengan ponsel saja sudah bisa dijalankan.

Secara garis besar, DigiBiz menawarkan tiga manfaat.

Pertama, Product  Solution, yaitu berbagai solusi produk layanan yang relevan untuk dapat mendukung bisnis UKM mereka.

Kedua, Business Solution, di mana pelanggan akan mendapatkan manfaat yang bersifat non-telco antara lain tempat  berjualan, promosi, pinjaman, dan informasi bisnis.

Selanjutnya manfaat terakhir berupa Network atau jejaring, yaitu secara tidak langsung pelanggan akan mendapatkan jaringan bisnis dengan cakupan yang lebih luas dengan memanfaatkan platform ini.

Sebelumnya, XL juga telah menggeber proyek-proyek untuk memperkuat ekosistem digital sampai ke pelosok Nusantara. Kami mengembangkan mFish, aplikasi digital yang berguna sebagai pemandu bagi nelayan. Program XmartCity juga sudah mulai direalisasikan di Yogyakarta, Lombok, dan Balikpapan, serta XmartVillage di Kamojang dan Kamajang, Kabupaten Bandung.

Layanan e-money dengan sistem pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan, promosi digital untuk UKM telah kami gelar di Yogyakarta. Sedang di Lombok XL menyediakan fasilitas untuk pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor, reservasi lokasi pemakaman, serta pemberdayaan panti anak yatim. Di Balikpapan, kami suguhkan solusi di bidang kesehatan, e-government, UKM, serta pemberdayaan masyarakat. Dan yang terakhir XL telah merilis aplikasi kota layak anak untuk mendukung Jogja SmartCity.

Revamp, Rise, Reinvent

Tahun 2015 juga merupakan tahun transformasi bisnis bagi XL. Transformasi itu diformulasikan dalam Strategi 3R yang meliputi  Revamp, Rise & Reinvent.

Revamp berarti mengubah model bisnis pencapaian jumlah pelanggan (dari “volume” ke “value”) dan mengubah strategi bisnis untuk meningkatkan profitabilitas produk.

Rise berarti meningkatkan nilai merek XL melalui strategi dual-brand dengan AXIS guna menyasar segmen pasar yang berbeda.

Dan Reinvent berarti XL akan membangun dan menumbuhkan berbagai inovasi-inovasi bisnis.

Jika Anda tak begitu familiar dengan strategi ini, jangan khawatir, karena memang 3R ini transformasi yang lebih difokuskan di dalam internal perusahaan. Boleh dikatakan, 3R ini adalah upaya kami mempersiapkan ekosistem di XL untuk menuju ke masa depan yang mau tak mau harus bertransformasi menjadi perusahaan digital. Bukan teknologi dan kecanggihan yang terutama dalam proses itu, namun budaya bisnis dan sumber daya di dalam yang paling “pe-er” untuk diubah.

Alhamdulillah, pada bulan Agustus, alias hanya selang beberapa bulan setelah dicanangkan, tanda-tanda positif sudah bermunculan. Pendapatan tumbuh 2,4% dari kuartal sebelumnya. EBITDA tumbuh 6,6% dari kuartal sebelumnya. Margin tumbuh 1,4% dari kuartal sebelumnya menjadi 35,5%. Layanan data terus tumbuh disertai peningkatan trafik sebesar 65% dari tahun lalu.

ARPU meningkat sebesar 25% dari Rp 24,000 pada semester pertama tahun 2014 menjadi Rp 30.000 pada periode yang sama tahun 2015. Total pengisian ulang (reload) XL Tunai juga mengalami peningkatan sebesar 13% dibandingkan awal tahun hanya 0,2%.

Pada kuartal kedua tahun 2015, XL berhasil meraih pertumbuhan yang positif sejak kuartal kedua tahun 2014, yaitu sebesar 2,4%. Pertumbuhan ini didorong dari pendapatan penggunaan layanan inti (core), sebesar 3,1% dari kuartal sebelumnya, di mana layanan percakapan naik 7% dan layanan Data serta VAS juga naik 2% dari kuartal sebelumnya.

Pada kuartal kedua tahun 2015, Laba sebelum Bunga, Pajak, Depresiasi dan Amortisasi (EBITDA) mengalami peningkatan sebesar 7% menjadi Rp 2 Triliun dari kuartal sebelumnya. Ini menghasilkan pencapaian margin EBITDA sebesar 36%, meningkat sebesar 2% dibandingkan kuartal sebelumnya. Peningkatan EBITDA ini terutama disebabkan dampak positif dari pengelolaan kembali basis pelanggan yang berfokus pada pelanggan yang lebih menguntungkan, serta upaya untuk meningkatkan profitabilitas portofolio produk. Kuartal keempat ini (yang laporannya akan keluar pada bulan Januari 2016) menunjukkan hasil positif terhadap kuartal sebelumnya.

Selama semester pertama tahun 2015, XL juga telah membelanjakan Rp. 2,3 triliun belanja modal untuk memperluas infrastruktur layanan data dan layanan mobile, dengan sumber dana berasal dari internal.

Semua boleh gelar 4G. Semua bebas mencanangkan kesiapan bertransformasi menjadi perusahaan digital. Yang kurang elok adalah tidak membarenginya dengan menyiapkan ekosistem digitalnya. Tanpa ekosistem, 4G akan jadi panggung yang sepi. Padahal 4G merupakan salah satu harapan terbesar kita sebagai bangsa yang berperan menjadi enabler ekonomi digital. Harapannya, 4G akan menjadi tumpuan mewujudkan visi XL untuk membangun Digital Economy Indonesia.

Kami di XL menyadari pentingnya hal itu. Oleh sebab itu, selain memacu solusi digital sampai ke pelosok, XL juga serius memperbesar belanja modal. Jika tahun 2015 ini belanja modal untuk 4G dialokasikan sebesar 20%, maka tahun 2016 belanja modal untuk 4G insya Allah akan menjadi 50%.

Selamat menyambut Tahun Baru 2016. Semoga ikhtiar digital bangsa ini memberi maslahat bagi kesejahteraan bangsa di masa datang.

Tulisan ini dari Dian Siswarini.

1 comment:

  1. Proses refarming frekuensi 1800MHz, bukti XL dan operator lain dapat membuang ego demi kemajuan telekomunikasi Indonesia http://diansiswarini.com/2015/12/refleksi-2015-rubik-3r-dan-menuju-2016/

    ReplyDelete